Krisis Persija dan Sindrom Liverpool dan AC Milan
seranganbalik.com Jakarta – Persija Jakarta mencatatkan diri sebagai klub dengan gelar kasta tertinggi terbanyak di Indonesia. Tim Macan Kemayoran tercatat sembilan kali jadi jawara kompetisi Galatama plus ditambah satu gelar Liga Indonesia. Sayangnya, kebesaran ini seakan tak berbekas beberapa tahun terakhir ini.
Persija seperti lupa bagaimana menjadi juara. Mereka selalu terlihat kesulitan di persaingan atas kompetisi elite Tanah Air. Tengok saja di awal perhelatan Liga 1 2017 ini. Mengarungi enam pertandingan Persija terpojok di posisi 15.
Persija yang musim ini dilatih oleh Stefano “Teco” Cugurra baru sekali meraih kemenangan, yakni di laga perdana saat Bambang Pamungkas dkk. menggasak Persiba Balikpapan di Stadion Gajayana, Malang. Selebihnya mereka menderita tiga kali kekalahan dengan skor 0-1 dari PSM Makassar, Madura United, serta Persela Lamongan.
Kekalahan dari Madura United terasa paling menyakitkan karena terjadi di kandang sendiri Stadion Patriot, Bekasi. Terakhir, tim ibu kota juga gagal menang saat menjamu Mitra Kukar.
Desakan agar Teco dipecat mulai bermunculan dari banyak anggota kelompok suporter The Jakmania. Mereka menganggap Teco tak lebih baik dibanding Paulo Camargo yang dilengserkan paksa menjelang putaran pertama Torabika Soccer Championship 2016.
Performa Teco dianggap lebih buruk dibanding koleganya sesama asal Brasil, karena musim ini bisa dibilang Persija ditopang pendanaan yang relatif baik. Masa-masa suram krisis finansial di era kepemimpinan Ferry Paulus telah berakhir dengan masuknya pengusaha perhotelan, Gede Widiade.
Saat diperkenalkan sebagai pemodal baru Persija Jakarta menjelang Liga 1 2017 bergulir, Gede sempat menggelorakan semangat kebangkitan.
“Saya tertarik menjadi investor Persija setelah berbincang banyak dengan petinggi dan pengurus klub. Mereka punya hasrat kuat ingin mengembalikan Persija sebagai tim yang dicintai suporter di Jakarta dengan seutuhnya. Dan tentunya Persija kembali menjadi tim elite yang disegani,” kata Gede.
Persija di era baru Gede Widiade membangun kekuatan tim dengan mendatangkan sejumlah pemain berkelas sarat reputasi macam Ryuji Utomo, M. Hargianto (eks Timnas Indonesia U-19 besutan Indra Sjafri), Luis Carlos Junior (striker tajam eks Barito Putera), Arthur Irawan (eks Waasland-Beveren Belgia), serta Bruno da Silva Lopes (marquee player asal Brasil).
Mereka berkolaborasi dengan bintang-bintang lawas yang namanya populer di jagat Indonesia layaknya: Bambang Pamungkas, Ismed Sofyan, Ramdani Lestaluhu, Gunawan Dwi Cahyo, Andritany Ardhiyasa, dan Maman Abdurrahman.
Nyatanya Persija yang ditopang komposisi pemain terhitung mentereng kesulitan menembus persaingan elite. Ada kesan Persija menjadi seperti macan ompong. Ada apa dengan Persija?
Teco sendiri sudah mendapat warning dari manajemen. Nasibnya akan ditentukan melihat hasil dua laga lanjutan Liga 1 2017 kontra Bali United (tandang) dan Perseru Serui (kandang). “Kami akan mengambil keputusan final setelah pertandingan Persija (21 Mei) melawan Perseru (28 Mei). Evaluasi terus kami lakukan, sifatnya bukan ultimatum tapi lebih menilai kinerja profesional pelatih,” tutur Gede yang berstatus sebagai Direktur Utama PT Persija Jaya Jakarta.
Tanggapan Stefano Cugurra?
“Tekanan dari suporter memang banyak. Kami seluruh awak tim minta maaf karena belum menyajikan hasil maksimal. Kami kalah beruntun lebih karena banyak kurang beruntung. Ke depan saya akan berjuang keras memperbaiki kinerja tim,” ujar pelatih yang matang jam terbang di Liga Thailand tersebut.
Badai Krisis Tidak Berkesudahan
Persija terlihat oleng seiring beralihnya kepemilikan klub dari tangan Pemprov DKI Jakarta ke Ferry Paulus pada tahun 2010. Macan Kemayoran yang selama ini dikenal sebagai klub dengan finansial berlimpah karena bantuan APBD, mendadak jadi klub sederhana.
Ferry Paulus kerapkali kesulitan menyiapkan dana buat menopang operasional klub. Saat diambil alih Gede, utang Persija menembus Rp 70 miliar.
Ferry menyebut ada sejumlah masalah tak terduga yang membuatnya kesulitan mengelola klub.
“Saat saya masuk kondisi sepak bola nasional tengah karut marut karena mencuatnya konflik dualisme di PSSI. Negosiasi dengan calon sponsor seringkali mentah karena takut brand mereka ikut terseret pusaran konflik.”
“Ketika dualisme berakhir pada 2013, dua tahun berselang giliran PSSI berkonflik dengan pemerintah. Kompetisi musim 2015 dihentikan karena perseteruan itu. Kesepakatan kami dengan sponsor pun buyar semua,” cerita pengusaha asal Manado itu dalam sebuah perbincangan santai dengan Bola.com saat membekuan kompetisi.
Kasus keributan yang melibatkan pendukung Persija membuat perusahaan-perusahaan kakap terkesan enggan berinvestasi ke klub tersebut.
Di era kepemimpinan FP Persija sempat menyengat di Indonesia Super League 2010-2011. Mereka menduduki posisi tiga besar dan menjadi penantang juara Persipura Jayapura yang jadi tim terbaik kala itu. Namun, sukses tersebut menyisakan persoalan karena Persija terjerat utang gaji ke pemain.
Cerita negatif soal keterlambatan pembayaran gaji membuat banyak pemain tenar emoh merapat ke Tim Oranye. Imbasnya Persija beberapa musim terakhir tampil dengan skuat yang terhitung minimalis.
Manajemen Persija mengontrak banyak pemain muda dengan alasan regenerasi, walau hal itu sebenarnya hanya bahasa halus untuk menutupi ketidakmampuan mereka belanja pemain mahal.
Memang kalau mau fair, prestasi Persija tak juga bisa dibilang benar-benar jeblok. Di pentas ISL 2011-2012 Persija ada di jajaran 5 besar. Selanjutnya di ISL 2013 Macan Kemayoran bertengger di posisi 11 klasemen akhir. Pada ISL musim 2014 tim ibu kota nangkring di posisi lima wilayah barat.
Namun, pencapaian ini dinilai tidak cukup oleh suporter yang terbiasa melihat klub kesayangannya bersaing di perburuan juara pada era manajerial klub dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta. Terutama di era Sutiyoso alias Bang Yos sebagai Gubernur Jakarta. Persija jadi jawara Liga Indonesia musim 2001 dengan penampilan yang masif sepanjang musim.
Justrifikasi kalau Ferry Paulus gagal mengelola Persija makin kuat setelah klub terpuruk di posisi 14 klasemen akhir Torabika Soccer Championship 2016. Sebelumnya-sebelumnya, Ismed Sofyan cs. hanya jadi pengembira turnamen-turnamen pengisi kevakuman kompetisi pada interval tahun 2015-2016.
Tagar FP Out! membahana di kantung-kantung suporter Persija. Mereka berharap pengusaha yang juga pemilik klub Villa 2000 tersebut segera pergi dari Persija.
“Saya sudah kepalang nanggung cemplung ke Persija. Jika ada orang yang berani membiayai Persija sepenuhnya baru saya rela menepi,” ucap Ferry Paulus.
Sempat Nyaris Degradasi
Masa sulit Persija sebenarnya bukan yang pertama terjadi. Klub yang berdiri 28 November 1928 pernah merasakan masa-masa sulit di pertengahan 1980-an.
Tim Macan Kemayoran sempat hampir degradasi dari kompetisi elite perserikatan pada 1985-1986. Beruntung Persija lolos dari kemelut, setelah sukses jadi jawara play-off promosi degradasi di Cirebon pada awal tahun 1986.
Saat itu Persija yang diketuai almahum Todung Barita Lumbanraja juga dilanda kemelut internal.
Uniknya walau kering prestasi Persija tetap subur melahirkan pemain-pemain top di era tersebut. Patar Tambunan, Adityo Darmadi, Tiastono Taufik, Rahmad Darmawan, Noah Meriem, Tony Tanamal, adalah pemain-pemain binaan Persija yang kerap dipanggil membela Timnas Indonesia.
Deja vu kering prestasi berulang saat masa-masa awal penggabungan kompetisi perserikatan dengan Galatama pada pertengahan 1990-an. Menghadapi persaingan ketat Liga Indonesia yang melibatkan klub dari kedua pentas kompetisi, Persija terhuyung-huyung.
Problem pendanaan membuat Persija kesulitan membangun tim bertabur bintang. Persija perlahan mulai ditinggalkan penggemarnya.
Momen penting terjadi pada 1996 saat Sutiyoso, Gubernur DKI Jakarta nyemplung menjadi Pembina Persija. Gubernur berdarah Semarang yang gila bola itu punya ambisi besar kembali membawa kejayaan buat Persija.
Ia figur yang ringan tangan membantu pendanaan Persija saat jadi orang nomor satu ibu kota. Bang Yos (panggilan akrabnya) menelurkan kebijakan ekstrem dengan mengubah warna kostum Persija dari merah-putih menjadi oranye. Di era Bang Yos Persija bak bangkit dari kubur. Mereka kembali jadi klub yang disegani.
Di setiap musim Macan Kemayoran selalu mendatangkan pemain-pemain top dengan banderol mahal. Bintang-bintang asing memesona macam Luciano Leandro, Emnanuel de Porras, Gustavo Ortiz, serta Lorenzo Cabanas sempat mampir ke Jakarta. Persija jadi pelanggan tim papan atas.
Sindrom Klub Elite
Dalam skala yang lebih luas lagi, apa yang dialami Persija juga dialami sejumlah klub elite Benua Eropa. Liverpool FC jadi salah satu contoh klub besar yang terjebak kejayaan masa lalu.
The Reds yang merajai Liga Inggris pada periode 1970 hingga 1980-an kini selalu terlihat sulit juara di pentas Premier League. Mereka kalah bersaing dengan Manchester City dan Chelsea, yang secara tradisi bukan terhitung klub dengan gelar seabrek di Negeri Tiga Singa.
Liverpool harus rela menerima kenyataan pahit torehan gelar kompetisi kasta elite terbanyak yang mereka kuasai puluhan tahun dilampaui Manchester United. The Red Devils mengoleksi 19 gelar, sementara Liverpool 18 trofi.
Lima musim terakhir Liverpool bahkan tak pernah dihitung pengamat sebagai kandidat juara. Mereka paling banter dinilai hanya bisa menembus zona big four. Walau memang situasi yang dialami Liverpool relatif lebih baik dibanding Persija. Klub tersebut sempat mencicipi gelar Liga Champions Eropa musim 2004-2005.
Liverpool kini sedang mencoba bangkit dengan mendatangkan arsitek asal Jerman, Jurgen Klopp yang pernah sukses bersama Borussia Dortmund. Sayang di musim ini Klopp gagal menyajikan gelar Premier League. Chelsea jadi kampiun Premier League 2016-2017.
“Untuk membawa Liverpool ke level juara butuh proses. Saya datang ke Liverpool untuk membangun sesuatu. Hal itu tidak bisa dilakukan secara instan,” celoteh Klopp dalam sebuah sesi wawancara dengan Sky Sports di awal musim.
Tanda-tanda kebangkitan Liverpool mulai nampak di era Klopp. Paling tidak terlihat kala klub yang satu ini lolos ke Liga Europa musim 2015-2016. Kini besar kemungkinan Philippe Coutinho cs. menempati posisi lebih baik dibanding Manchester United di jajaran papan atas Liga Inggris musim ini.
Situasi sulit yang dialami Liverpool juga dirasakan tim super di Serie A, AC Milan. Klub yang pernah dijuluki The Dream Team pada periode 1990-an kini terlihat kesulitan menyaingi Juventus, AS Roma, dan Napoli. Saudara sekota Milan, Internazionale Milan juga senasib.
Di Indonesia Persija tidak sendirian. Sejumlah klub elite yang besar di era perserikatan layaknya PSM Makassar, Persebaya Surabaya, dan PSMS Medan juga terlempar dari persaingan elite. Dua nama klub terakhir bahkan saat ini berkiprah di level Liga 2.
Sementara itu, PSM terlihat mulai kinclong. Tim Juku Eja kini ikut dalam balapan menjadi juara di awal Liga 1 2017.
Pertanyaannya sampai kapan Persija berkutat dengan masalahnya? Sulit menjawabnya. Pastinya pendukung setia Macan Kemayoran berharap klub kesayangannya kembali mengaum.