Akhir Kebersamaan Raja Roma di Klub Serigala Ibukota
seranganbalik.com, Roma – ‘The King of Rome’, begitulah panggilan yang didapat seorang Francesco Totti setelah menunjukkan loyalitas yang sangat tinggi untuk AS Roma. Laga melawan Genoa pada pekan ke-38 Liga Italia Serie A, menandai akhir dari statusnya sebagai pemain AS Roma. Pada laga tersebut, AS Roma menang dengan skor 3-2 dan mengamankan posisi runner-up Serie A dan mendapatkan tiket tampil di fase grup Liga Champions 2017-18.
Tidak ada sentimen khusus yang ditunjukkan pelatih AS Roma, Luciano Spalletti, kepada Francesco Totti. Sang pelatih tidak serta merta menurunkan Totti sejal menit awal pertandingan melawan Genoa yang berlangsung di Stadion Olimpico.
Spalletti dan Totti merupakan dua sosok yang saling bertentangan. Tidak ada hubungan yang harmonis antara keduanya. Sang pelatih berulang kali mengindikasikan kalau ia terganggu dengan sikap suporter yang lebih fokus terhadap Totti daripada mendukung AS Roma.
Hal tersebut terbukti ketika ia baru menurunkan Totti pada babak kedua pertandingan, tepatnya pada menit ke-54 untuk menggantikan Mohamed Salah. Jika itu bukan laga terakhir Totti untuk AS Roma, bukan tidak mungkin Spalletti akan membiarkan sang pemain mengendap di bangku cadangan pemain.
Jika melihat dari sisi profesionalisme, sikap yang ditunjukkan Spalletti adalah sikap yang lumrah. Sebagai pelatih, Spalletti memiliki penilaian yang obyektif terhadap para pemainnya.
Spalletti mendapat kepercayaan dari AS Roma untuk mengantarkan klub tersebut bersaing di papan atas Serie A, dan ia bisa memenuhi permintaan tersebut, tanpa kehadiran Totti secara reguler di lapangan.
Namun, sosok Francesco Totti sudah begitu melekat bersama AS Roma. Seakan sang pemain tidak bisa dipisahkan dengan klub tersebut. Sejak menembus skuat utama Giallorossi pada 1992, Totti sudah tampil dalam 785 pertandingan dan mencetak 307 gol untuk AS Roma.
Hal tersebut membuat posisi Spalletti di AS Roma menjadi serba salah dan membuat hubungannya dengan Romanisti menjadi tidak harmonis.
Ketika tampil perdana pada 28 Maret 1993, Totti sudah digadang-gadang sebagai calon bintang AS Roma. Julukan ‘Sang Pangeran Roma’ pun lahir untuk Totti. Kini ia bukan lagi ‘Pangeran’, melainkan menjelma menjadi ‘Sang Raja Roma’.
Mantan direktur klub, Franco Sensi, pernah bertikai dengan pelatih AS Roma, Carlos Bianchi, pada 1997. Hal tersebut dikarenakan Bianchi jarang memberi kesempatan Totti untuk tampil. Selain itu, Bianchi sempat akan mengirim Totti ke Sampdoria dengan status pinjaman.
Sensi turun tangan langsung untuk membatalkan transfer. Pada akhir musim 1996-97, Bianchi pun meninggalkan Roma dan digantikan Zdenek Zeman.
Kehadiran Zeman merupakan awal dari kecemerlangan Totti. Pelatih asal Republik Ceska tersebut mampu memoles sang pemain dengan memaksimalkan potensi yang ia miliki. Hasilnya, Totti menjadi satu di antara pemain terbaik yang pernah dimiliki Italia.
Tidak hanya bagi klub Roma, nama Totti sudah sangat identik dengan kota Roma. Hal tersebut terbukti pada laga terakhirnya untuk I Lupi. Seluruh masyarakat Roma seperti merayakan sesuatu yang besar.
Koran harian kota tersebut, Il Tempo, rela mengubah merk korannya menjadi Il Tempo Di Totti, untuk mengenang hari terakhir Totti sebagai pemain AS Roma.
Selain itu, ada pesawat khusus yang membawa spanduk bertuliskan ‘Grazie Capitano’ pada hari pertandingan Roma melawan Genoa.
Laga berakhir dengan skor 3-2 untuk kemenangan AS Roma. Sepertinya, apa pun hasil dari pertandingan tersebut tidak akan ada yang membuat Romanisti lebih sedih dari perpisahan mereka dengan Totti.
Mulai saat ini, penampilan memikat Francesco Totti hanya akan bisa dinikmati melalui rekaman pertandingan dan gambar-gambar dirinya yang tersebar di seluruh pelosok kota Roma.
Terima kasih, Roma.
Terima kasih kepada ibu dan ayah, saudara kandung, kerabat dan teman-teman.
Terima kasih untuk istri dan ketiga anak saya.
Saya akan memulai dengan mengucapkan selamat tinggal, karena saya tidak tahu apakah bisa bertahan membaca kata-kata perpisahan ini.
Sangat sulit untuk membuat kesimpulan dalam beberapa kalimat setelah menghabiskan 28 tahun bersama klub ini.
Sebenarnya, saya ingin mengungkapkan melalui sebuah lagu atau puisi. Namun saya tidak bisa berpikir apa yang akan saya tulis.
Selama ini, saya selalu berusaha mengekspresikan diri melalui kaki, hal tersebut merupakan hal yang mudah buat saya karena telah melakukannya sejak kecil.
Berbicara mengenai masa kanak-kanak, apakah anda tahu apa permainan favorit saya? Tentu saja sepak bola, dan saya masih mencintainya hingga saat ini.
Pada suatu titik hidup, anda akan beranjak dewasa, itulah yang orang-orang sering katakan kepada saya dan waktu juga membuat saya terus tumbuh.
Kembali ke 17 Juni 2001, kami ingin melewati dengan sangat cepat.
Kami tidak sabar mendengar wasit meniupkan peluit untuk mengakhiri pertandingan.
Saya masih suka bergidik ketika mengenang waktu itu.
Hari ini, waktu telah mendatangi saya dan mengetuk pundak saya serta mengatakan hal berikut:
“Kita harus tumbuh dewasa. Mulai besok, anda akan menjadi orang dewasa. Lepas celana pendek dan sepatu itu, karena mulai hari ini anda telah menjadi pria. Anda tidak bisa lagi mencium bau rumput di lapangan, sengatan sinar matahari di wajah anda ketika berusaha membuat gol ke gawang lawan, merasakan adrenalin dan merasakan kegembiraan dalam perayaan gol.”
Pada beberapa bulan terakhir, saya bertanya kepada diri saya sendiri. Kenapa saya harus bangun dari mimpi indah ini?
Bayangkan, anda seorang anak kecil yang sedang bermimpi indah, lalu Ibu anda membangunkan untuk berangkat ke sekolah.
Anda ingin terus bermimpi, anda berusaha kembali untuk tidur dan melanjutkan mimpi, namun tidak bisa melakukannya.
Saat ini, itu bukan lagi mimpi, tetapi sebuah realitas. Dan saya tidak bisa kembali tidur untuk melanjutkan mimpi tersebut.
Saya ingin mendedikasikan surat ini untuk anda semu dan untuk semua anak-anak yang selalu mendukung saya.
Untuk anak-anak yang telah dewasa dan telah menjadi orang tua, dan juga untuk anak-anak masa sekarang yang terus meneriakkan ‘Tottigol’.
Saya ingin anda memahami, kalau karier saya telah menjadi sebuah dongeng yang akan anda ceritakan untuk generasi berikutnya.
Saat ini, semuanya benar-benar telah berakhir.
Saya membuka seragam tim ini untuk kali terakhir.
Saya akan melipatnya, walaupun saya belum siap untuk mengatakan ‘cukup’ dan saya tidak akan pernah siap untuk melakukannya.
Saya meminta maaf karena tidak memberikan wawancara untuk mengklarifikasi apa yang ada di pikiran saya. Bukanlah hal yang mudah untuk mengkahiri ini semua.
Saya merasa takut. Perasaan takut ini tidak sama ketika anda berada di depan gawang lawan untuk melakukan eksekusi penalti.
Saat ini, saya tidak bisa melihat apa yang akan terjadi pada masa depan.
Izinkan saya merasa takut.
Saat ini, saya lah yang membutuhkan anda semua dan semua rasa kasih sayang yang selama ini anda tunjukkan kepada saya.
Dengan dukungan anda semua, saya yakin bisa membalikkan lembaran baru dalam hidup dan membuat saya menikmati petualangan baru.
Sekarang, saya akan berterim kasih kepada pemain-pemain yang pernah bermain bersama saya, para pelatih, dewan direksi, presiden klub dan siapa pun yang pernah bekerja bersama saya.
Untuk pada suporter dan Curva Sud, anda bagaikan cahaya yang membimbing Romanisti.
Menjadi kapten di klub ini adalah sebuah kehormatan.
Anda semua akan saya kenang sepanjang hidup saya. Saya tidak lagi bisa menghibur anda dengan kaki saya, namun hati saya akan selau bersama anda.
Sekarang, saya akan menuruni tangga dan memasuki ruang ganti yang telah menyambut saya sebagai anak laki-laki dan meninggalkan tempat tersebut sebagai seorang pria.
Saya bangga dan bahagia telah berbagi kasih dengan anda selama 28 tahun.
Saya cinta anda semua.